Selasa, 24 Juli 2007

Jemek “Mimer Sejati” Supardi


Sena A. Utoyo dan Didi Petet tahun 1987 keduanya membuat wadah teater pantomim Sena Didi Mime.Kelompok ini memproklamirkan diri sebagai teater pantomim karena dalam penampilannya selalu melibatkan banyak pemain. Teknik gerak yang ditampilkan perpaduan gerak klasik, gerak modern, gerak tradisional dalam seni pantomim. Dalam garapannya selalu menampilkan tema sosial, suasana puitis serta simbolik. Hal itu dapat dilihat dalam karyanya seperti: Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989) Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), dan Kaso Katro (1999). Jika dahulu Sena A. Utoyo (alm.) lewat kelompoknya Sena Didi Mime berusaha memasyarakatkan mime di Indonesia.

Senin, 23 Juli 2007

Jemek Supardi dimata Sindhunata

INILAH kisah tentang seorang tukang cukur. Dia bukan pemotong rambut modern. Dia hanyalah tukang cukur tradisional. Maka tempat kerjanya bukan di salon, melainkan di bawah pohon. Selain gunting, di mejanya ada tondhes serta semprotan untuk memiting dan membasahi rambut.

SUDAH lama tukang cukur itu duduk termangu, tak juga datang pelanggan yang ditunggu. Sesekali datang jugalah orang padanya. Dia sudah siap mencukurnya. Ternyata orang itu hanya mau pinjam sisirnya saja. Kemudian datang orang lain. Kali ini ia hanya numpang meminjam gunting untuk merapikan kumisnya. Tak lama kemudian datang lagi seorang lain. Ia pun hanya berhenti sejenak, mematut-matut diri di depan kaca.

Minggu, 22 Juli 2007

Mereka Mencari Perspektif Mo-Limo



YOGYAKARTA -- For Sale. Tulisan warna merah itu mencolok di bawah gambar kepala manusia tanpa rambut, hanya tersisa jambul yang menyembul kepala. Drawing di atas kertas koran karya pelukis Hendro Suseno ini menyita perhatian pengunjung. Mereka terpaku, mengamati tulisan yang menjadi latar belakang lukisan itu. Samar-samar berita koran itu terbaca. Indonesia Sukses, judulnya. Di sampingnya, ditempel gambar dua calon presiden, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Karya Hendro itu, satu di antara 30 karya seni yang dipamerkan 30 perupa di Bentara Budaya Yogyakarta, 21- 27 September 2004. Beberapa di antaranya karya perupa Joko Pekik, Ivan Sagito, Nyoman Masriadi, Entang Wiharso, Samuel Indratma, Yuswantoro Adi, Nasirun, Alex Luthfi, Bunga Jeruk, Noor Ibrahim, S. Teddy D., Yamyuti Dwi Iman, dan Arahmaiani. Pameran bertajuk 4 Sehat Mo-Limo Sempurna ini digelar untuk memperingati ulang tahun Bentara Budaya yang ke-22. Lalu apa hubungan karya bertajuk Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) ini dengan mo-limo? Menurut Hendro, mo-limo bukan sekadar mabuk, main, madat, madhon (main perempuan), dan maling. "Saya melihat mo-limo dalam konteks yang lebih besar. Tidak hanya dalam kultur agraris saja, tapi kultur kota. Konteks mo-limo sebagai kultur baru, harus didaur ulang. Jadi korupsi dan kejahatan lain di kalangan elite politik itu juga perbuatan mo-limo," kata Hendro. Bagi Hendro, tawaran beasiswa dalam program Indonesia Sukses yang disebarkan lewat surat kabar sangat mungkin merupakan program yang memiliki konflik kepentingan tinggi. Program yang mengeruk dana miliaran dari beberapa BUMN ini bisa menjadi mo-limo yang lebih besar, meskipun belum ada BUMN yang mengakui. "Ketika calon presiden itu kalah, apakah program itu akan tetap jalan? Bisa jadi program ini batal," ujar Hendro. Berbeda Seniman menangkap mo-limo dengan pandangan yang berbeda-beda. Sebagian masih menilai mo-limo identik dengan main perempuan. Lihatlah Sumpah Aku Ora Tau Madhon (sungguh aku tidak main perempuan). Lukisan cat minyak karya Sigit Santoso ini menggambarkan tubuh laki-laki yang wajahnya tertutup kaus yang sedang diangkat ke atas. Tubuh itu penuh bekas lipstick, dan kancing celana jinsnya sedikit terbuka. Sebuah kemunafikan. Semakin munafik akan semakin kelihatan kebusukannya. Sementara itu, Hermanu mengangkat Panca Mo. Wajah laki-laki yang otaknya penuh simbol mo-limo, kartu judi, gelas ciu, dan wanita telanjang. Maksudnya, nafsu datang dari nalar. Nafsu bisa vulgar dan terang-terangan, sementara nalar bisa lebih halus dan tersembunyi. Namun, nalar yang sudah terendam ciu (arak) hanya menghendaki perempuan. Keinginannya hanya bermain judi. Pande Ketut Taman lain lagi. Menurut dia, manusia yang kehilangan nalar akan menuruti naluri nafsunya sampai serupa binatang. Ia menggambarkan berupa laki-laki naik tikus dan tikusnya mengendarai celeng. Karya Kendaraan Menuju Kenikmatan itu menggambarkan kebusukan, kelicikan manusia karena dikendalikan kerakusan. Nafsu manusia seakan tidak cukup diwadahi mo-limo. Tragedi mo-limo tergambar sangat ekstrem dalam karya Alex Luthfi bertajuk Garuda Mo-Limo. Lukisan cat minyak di atas kanvas itu menggambarkan sosok manusia berwajah monster, raksasa mirip binatang. Seluruh tubuhnya berfungsi sebagai penikmat tercela. Ada garuda terjepit di selangkangan. Garuda yang seharusnya mengatur tindakan moral manusia itu tak berdaya. Salah satu sifat manusia, tidak menyerah pada misteri. Bambang Toko mewujudkannya dalam karya Ramalan Jitu. Di bagian atas komiknya itu bertulisan: Ramalan Asli Romo Sindhu. Komik itu menggambarkan ramalan dengan berbagai teka-teki misalnya: minum susu campur sirup, sayur lodeh pakai kecap, pemadat khianati menteri, mabuk pakai kebaya, dan sebagainya. Tulisan-tulisan itu dibarengi gambar yang maknanya juga masih teka-teki. Sementara itu, Yuswantoro Adi melihat fenomena mo-limo lewat kebiasaan anak sejak kecil. Misalnya main pengantin-pengantinan, main uang-uangan, dan suntik-suntikan. Bagi Yuswantoro, fenomena itu melukiskan kelekatan manusia yang sama sekali irasional dan tidak sadar. Demikian pula Nasirun dalam Manusiawi, menangkap hal yang sama dengan visual yang berbeda dengan Yuswantoro. Menurut Nasirun, sejauh ada manusia selalu ada mo-limo. Dalam kegelapan selalu ada pantat, ada buah dada, dan ada paha. Di dalam kegelapan itu juga ada penis yang berdiri tegang kendati yang memiliki sudah tua. Mo-limo, menurut Nasirun, bagaikan kemudaan yang terus ada dalam ketuaan. Sayangnya, hampir semua seniman melihat mo-limo sebatas makna harfiah. Tema pameran itu sendiri, menurut Sindhunata, sebuah plintiran. Sebuah ajakan untuk menatap kembali makna mo-limo. Jangan menerima begitu saja pandangan umum masyarakat tentang mo-limo ini. "Dengan demikian 4 Sehat Mo-Limo Sempurna merupakan tema yang tepat untuk mengajak kita mengkritik fenomena itu dalam wacana moral," kata Sindhunata. Lebih lanjut, menurut dia, wacana itu bukan untuk membenarkan atau menyalahkan tetapi untuk melihat apakah moral yang digembar-gemborkan itu masih efektif. Dan sebuah kutang tergantung di leher, juga celana dalam perempuan. Tak ketinggalan pula kondom, botol minuman keras dan kartu domino, menggantung di depan dada. Pantomimer Jemek Supardi mengekspresikannya lewat gerak bisu. Pelawak Marwoto Kawer memangkas habis rambut Jemek. Tanda dibukanya pameran. ln idayanie/syaiful amin

Sabtu, 21 Juli 2007

Pantomim Belum Mati


Happening art merupakan seni pantomim yang banyak ditemui masyarakat, baik saat peluncuran produk maupun aksi unjukrasa. Seni pantomim tidak prospektif. Inilah 'dalih' yang selalu mengemuka, tatkala ditanyakan mengapa pada era 2000-an, pantomin seolah tertidur lelap. Padahal satu dasa warsa sebelumnya, terjadi booming pantomim.
Pantomim, tetap hidup. Di televisi, misalnya, kita sering menyaksikan paket-paket acara ini. Kemudian pertunjukan happening art dari beberapa perusahaan yang tengah menyelenggarakan suatu acara. Seniman-seniman pantomim baik dari mahasiswa-mahasiswa seni, orang-orang teater sampai yang sudah kondang seperti, Jemek Supardi, Septian Dwi Cahyo dan Muhiyanto, mengisi acara ini.
Happening art juga ikut mewarnai sejumlah aksi unjukrasa mahasiswa. Belakangan, pantomim ikut mendukung kampanye publik. Misalnya kampanye publik penggunaan sabuk keselamatan.
Sebenarnya, kegiatan mendekatkan seni pantomim dari khalayak, telah dilakukan sejak lama. Sejak 1980-an, sebuah kelompok teater pantomim Sena Didi Mime (SDM) yang dipimpin aktor Didi Petet. memperagakan seni pantomim dan happening art langsung di tengah khalayak. Mereka memperagakan adegan yang mengundang perhatian orang di pasar, jalan-jalan dan pusat-pusat keramaian lain. Cara ini, menurut pengurus SDM, Yayu Aw Unru, memang terlihat gila. Bayangkan saja, di tengah pasar ada orang dengan topeng dan pakaian aneh memperagakan gerakan-gerakan pantomim.
Format berkesenian itu memang disengaja. Selama ini orang mengenal seni pertunjukan selalu menempatkan penonton di bawah panggung, dan pertunjukan seni di atas panggung. Seni menjadi terpisah dan bejarak dengan khalayak. ''Ini yang harus didobrak,'' tegas Yuyu, seorang seniman pantomim.
Sejumlah perusahaan yang melibatkan seniman pantomim dalam pengenalan produk, memang memiliki dua alasan sekaligus. Perusahaan itu berniat memperkenalkan seni pertunjukan pantomim itu ke khalayak. Pada saat yang sama dengan penampilan seni pantomim bisa dhilangkan jarak atau batas kepada khalayak saat mereka mempromosikan suatu produk. Mereka menilai peran para seniman itu cukup efektif untuk ikut mempromosikan produknya.
Apapun alasannya, bagi seorang seniman pantomim senior seperti Jemek, perkembangan pantomim memang menggembirakan. Seni pantomim telah mendapat tempat di masyarakat. Hal ini tampak dari makin banyaknya pementasan-pementasan walaupun hanya sekedar sebagai happening art.
Bagi Jemek Supardi, seni pantomim itu suatu seni yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat. ''Kekonyolan-kekonyolan yang diolah secara imaji-kreatif itulah yang mendekatkan pantomim dengan masyarakat,'' paparnya. Karena pada dasarnya seni pantomim itu kekonyolannya diciptakan dengan proses imaji-kreatif.
Karena merasa seni pantomim itu tetap eksis, hal itul pulalah yang membuat kelompok teater SDM menggelar pementasan di Gedung Kesenian Jakarta pada 23-24 April 2004 lalu sekaligus menandai kiprah kelompok teater pantomim SDM, yang pada 14 April lalu memasuki usia ke-17. Pementasan pantomim karya terbaru kelompok ini, mengangkat persoalan demokratisasi bertajuk Kaki Kaki Tangan. Pentas kali ini digarap dua sutradara sekaligus, yakni Yuyu Aw dan Didi Petet Dalam pementasan SDM kali ini hanya melibatkan pemain sekitar 10 orang, lain dari biasanya yang bisa mencapai 100 pemain. ''Kali ini kita mentas dengan sedikit pemain. Ada kejadian ketika Soledad akan dipentaskan keliling Eropa, ada beberapa teman yang tidak bisa ikut. Dan kita cuma main dengan sedikit orang,'' ujar Yuyu Aw Unru.
Pementasan yang disponsori oleh Uni Eropa dan United Nation Development Program (UNDP) menawarkan tafsir penerapan demokrasi yang asli sebagai solusi dari kondisi masyarakat saat ini yaitu ketidaksehatan di bidang hukum dan ekonomi. Para seniman SDM membuat interpretasi artistik terhadap demokrasi. Indonesia selayaknya mempelajari pelaksanaan demokrasi di Eropa. Sebab, demokrasi yang sesungguhnya terletak pada pemenuhan hak dan kesadaran untuk menjalankan kewajiban.
Penggambaran umum mengenai makna demokrasi, diilustrasikan dengan mengusung bongkahan-bongkahan karet-karet ban dalam ke atas panggung. Sejumlah pemain berwajah boneka dengan menggunakan kostum warna cokelat muda, tampak melakukan gerakan-gerakan 'pembobolan dinding' secara seksama dan bertenaga. Masing-masing pemain mengendong tubuh-tubuh manusia telanjang tanpa busana. Boneka-boneka warna orange tersebut terbuat dari bahan ringan Didi Petet mengemukakan, sajian pantomim tidak selalu kritik sosial sehingga simbol yang ada jangan selalu diidentikkan dengan politik yang sedang aktual. ''Waktu kami pentas Cerita tentang Pelangi, cerita ini diidentikkan dengan kritik sosial karena terlalu banyak simbol politik di masyarakat kita,'' ujarnya.
Menurut Yuyu, pementasan pantomim ini tidak dikerjakan berdasarkan naskah, melainkan langsung dipraktikkan. Bentuk pertunjukan didasarkan pada sketsa. Benang merah pertunjukan akan terlihat dari sketsa tersebut. Vokal dan dialog akan dikemas mirip seperti irama daripada kata-kata.
Sejumlah seniman 'jebolan' SDM dan pekerja seni dan film lainnya, turut hadir dan memberi komentarnya tentang eksistensi kelompok pantomim ini. Diantara mereka adalah H Subarkah, Farid, Dik Doank, Mathias Muchus, Eeng Saptahadi dan lain-lain. Menurut Subarkah, tak sedikit aktor sinetron dan film yang sempat 'berlatih' di SDM.
''SDM boleh dibilang adalah kumpulan tempat para aktor. Kehadirannya, sangat mengguncang perhatian karena konsep mereka tidak umum sebagai grup pantomim,'' kata H Subarkah, pemain sinetron yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta ini.
Yang unik dan tidak lazim, grup ini pernah mendatangkan lebih dari 20 bahkan mencapai 90-an personel untuk sekali main. ''Padahal, di luar negeri saja hanya ada grup pantomim dengan jumlah pemain maksimal 7 orang,'' jelas Subarkah menambahkan.
Mengenai keberadaan seni pantomim, Didi Petet berujar bahwa pertunjukan pantomim tergolong memang langka tapi tidak akan pernah mati karena seni ini selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. ''Seni pantomim tetap menarik untuk dinikmati dari berbagai sisi termasuk sisi kejenakaannya. Kritik sosial tidak selalu menjadi tema inti dalam pertunjukan pantomim. Tetapi bentuk kesenian ini lebih mengutamakan ekspresi perasaan manusia. Mulai dari rasa sedih, gembira dan kelucuan.'' (rusdy nurdiansyah )

Kamis, 19 Juli 2007

Kekonyolan Imaji-Kreatif Si Jemek Supardi



DARI sedikit seniman, anak negeri yang mengabdikan kesenimannya pada dunia pantomim adalah Jemek Supardi dari Yogyakarta. Pergulatan sekaligus pilihan hidupnya pun tercurah pada proses kreatif, teristimewa pada seni pantomim.
"Bisa saya cuma pantomim. Saya harus setia menjaganya dengan cara terus berpentas. Kapan saja, di mana saja, siapa saja," tuturnya. Walaupun usianya sudah mencapai 50 tahun, dia masih piawai merangkai kekonyolan-kekonyolan imaji-kreatifnya melalui repertoarnya berjudul Dokter Bedah.
Sebagai sosok seniman yang memilih dunia pantomim sebagai ruang berproses kreatif, Jemek telah menunjukkan konsistensinya. Setidaknya ia telah mengarungi pergulatan cukup panjang atas dunia pantomim, sejak tahun 1980-an hingga sekarang ini.
Tatkala Jemek Supardi dengan didampingi Asita mengusung repertoarnya, hari Jumat (29/5) malam, di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya, penonton pun sungguh terhibur dengan kenakalannya.
Rangkaian kekonyolan baru mencapai tataran yang sungguh-sungguh konyol, ketika dokter bedah (Asita) sedang mengoperasi pasiennya (Jemek Supardi). Dan, penonton pun dibuat terpingkal-pingkal atas ulah sang dokter yang hendak membedah perut pasiennya dengan gergaji.
Sebuah imaji-kreatif pun terbangun ketika telepon seluler (ponsel) sang dokter itu tertinggal di dalam perut sang pasien, karena kecerobohannya, sehabis bertelepon-ria sembarangan menaruh ponselnya ke dalam perut pasiennya.
Seusai operasi, si pasien itu pun keluar ruang praktik dokter bedah dengan penuh sukacita, karena merasa lebih segar dan sehat. Senyum kegembiraan itu terpancar dari mimiknya, sesekali ia pun mengekspresikannya dengan gerak-gerakan joging.
Dan, ketika suara dering ponsel itu terdengar, si dokter bedah itu pun kebingungan mencari ponsel miliknya. Sebaliknya, si pasien terkejut-kejut saat dering telepon seluler itu justru terdengar nyaring dari dalam perutnya.
Senyum kegembiraan pun berubah getir, kecut, dan pahit. Lalu, si pasien itu pun mendatangi kembali si dokter bedah dan operasi kedua pun dilakukannya, lagi-lagi kekonyolan itu pun mengguncang penonton.
Denting jam beker tiba-tiba berbunyi bersamaan dengan tangan dokter yang merogoh isi perut pasien, dan penonton pun terbahak-bahak ketika sang dokter menemukan jam beker dari dalam perut pasiennya. Tak berhenti pada kekonyolan itu, si dokter bedah itu pun mendapati dinamit di dalam perut.
Kekonyolan ini berlanjut ketika dokter bedah itu menjahit perut pasiennya tidak dengan benang, melainkan stapless. Gelak tawa penonton pun tak terbendung setiap menyaksikan kekonyolan yang satu ke kekonyolan yang lain.
Puncak imaji-kreatif itu terbangun penuh makna ketika dokter bedah itu mengganti alat kelamin pasiennya dengan alat kelamin anjing.
Ketika si pasien buang air kecil, suara anjing pun muncul. Lagi-lagi penonton pun terpingkal-pingkal menyaksikan kekonyolan itu. "Kekonyolan dengan dagelan itu lain," kata Jemek Supardi. (TIF)

Rabu, 18 Juli 2007

Kekonyolan dan Dagelan itu Beda'




Sukses teater Sena Didi Mime (SDM) pimpinan aktor Didi Petet yang menggelar pementasan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 23-24 April 2004, menggambarkan pantomim masih diminati publik. Belum banyak, memang, seniman yang mendalaminya. Dari sekian banyak pementasan pantomim yang diadakan hanya sedikit nama yang tercatat menekuni seni ini secara konsisten. Makanya, seniman pantomin juga tergolong sedikit. Nama-nama tenar selain Didi Petet, adalah Yuyu Aw Unru, Septian Dwi Cahyo dan Muhiyanto serta Jemek Supardi.
Dari sedikit seniman pantomim tersebut, yang mengabdikan kesenimannya secara serius pada dunia ini mungkin hanya Jemek Supardi. Pergulatan sekaligus pilihan hidup Jemek Supardi, seolah hanya tercurah pada proses kreatif, teristimewa pada seni pantomim. Jemek bukan seorang yang memiliki kemampuan menjalin kata-kata secara verbal. Namun demikian, ia mahir mengejawantahkan sebuah lakon kehidupan manusia dalam bahasa gerak dan tubuh yang dikenal sebagai pantomim.
Bahkan dalam dunia pantomim yang miskin aktor ini, Jemek berjalan tiada henti. Ia terus berkarya, lengkap dengan sensasi-sensasi yang melengkapi perjalanan berkesenian. Pertunjukannya tidak hanya dilakukan di dalam panggung yang berkesan formal, namun juga di jalanan, kuburan, bahkan dalam kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta. ''Bisa saya cuma pantomim. Saya harus setia menjaganya dengan cara terus berpentas. Kapan saja, di mana saja, siapa saja,'' tuturnya. Walaupun usianya sudah mencapai 51 tahun, dia masih piawai merangkai kekonyolan-kekonyolan imaji-kreatifnya.


Sebagai sosok seniman yang memilih dunia pantomim sebagai ruang berproses kreatif, Jemek telah menunjukkan konsistensinya. Setidaknya ia telah mengarungi pergulatan cukup panjang atas dunia pantomim, sejak tahun 1980-an hingga sekarang ini.
Jemek pun menyambut gembira mengenai seni pantomim yang saat ini mendapat tempat di masyarakat dengan banyaknya pementasan-pementasan walaupun hanya sekedar sebagai happening art. Baginya seni pantomim itu suatu seni yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat dengan kekonyolan-kekonyolan yang diolah secara kreatif tapi tidak terjebak dengan melakukan gerak-gerak melucu.
''Pada dasarnya seni pantomim itu kekonyolannya diciptakan dengan proses kreatif bukan terjebak melakukan gerak-gerak melucu, bahkan membanyol. Penonton tentu saja tertawa, tapi maksud yang hendak dicapai tidaklah mengena,'' ujarnya Jemek.
Jemek maklum bila selama ini ada opini bahwa seni pantomim identik dengan gerak-gerak lucu. Menurut Jemek, opini itu keliru. ''Bukan kelucuan yang jadi esensi pantomim. Pantomim tetap membawa misi tertentu. Kalau ada banyolan atau gerak-gerak komedis, itu lebih bersifat sebagai pendukung keseluruhan gerak,'' jelas seniman pantomim asal Yogyakarta ini.


Hal tersebut ditunjukan Jemek takkala ia mengusung repertoarnya yang bertajuk Dokter Bedah. Pada repertoar ini, rangkaian kekonyolan yang dikembangkan, benar-benar mencapai tataran yang sungguh-sungguh konyol. Bagi Jemek, puncak imaji-kreatif itu terbangun dengan kekonyolan penuh makna ''Kekonyolan dengan dagelan itu lain,'' kata Jemek.

Selasa, 17 Juli 2007

Jemek Supardi Welivers Message With Motion


After his successful show in Yogyakarta and the Central Java town of Surakarta last week, pantomime artist Jemek Supardi will display his skills at Bentara Budaya Jakarta this Friday. For his Jakarta show, the artist, who is touring three cities to mark his 50th birthday, will present several pieces, Halusinasi Pelukis (Painter's Hallucination), Jakarta-Jakarta, Dokter Bedah (Surgeon) and Tukang Cukur (Barber).

As part of the show, the Yogyakartan artist, who started his pantomime career in 1976, will bring with him two young pantomime artists, Broto and Ashita. The pieces to be staged here center mostly on social themes, a reflection of Jemek's own experiences and those of other, poor people within society. Still, the problems, as portrayed in Jakarta-Jakarta, Tukang Cukur and Dokter Bedah, show the sorrow in an amusing way.

Senin, 16 Juli 2007

Parodi Hidup dan Mimpi Tanpa Kata



Oleh Alex Suban (Wartawan Suara Pembaharuan)


HALUSINASI - Pantomimer, Jemek Supardi, memainkan peran sebagai pelukis yang terhanyut dalam kekaguman karyanya. Ia bermimpi lukisannya menjelma menjadi nyata, dalam salah satu nomor pantomim "Halusinasi Seorang Pelukis" di Bentara Budaya Jakarta, baru-baru ini.
HARAPAN sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Mungkin karena itu, kehidupan manusia selalu dibayangi mimpi. Kenyataan hidup terasa jauh lebih rumit dari mimpi. Begitulah versi hidup dari Jemek Supardi yang menggunakan medium pantomim untuk refleksi problematika hidup di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), baru-baru ini.Jemek Supardi menggelar pertunjukan dalam rangka 50 tahun perjalanan berkeseniannya. Dengan pertunjukan yang sama, Jemek tampil sukses di Yogyakarta Maret 2003. Aksi pantomimnya di BBJ disaksikan sekitar 200 orang yang duduk lesehan. Jemek menggunakan properti panggung yang sederhana, selembar layar putih membentang di tengah panggung.Pentas yang berjudul Berkesenian Tanpa Kata-kata ini kental dengan parodi, khas tontonan pantomim. Di depan penonton, dia berkisah tentang nasib para tukang cukur yang tergilas salon-salon mewah. Tukang cukur yang kerap mangkal di bawah pohon makin tersingkirkan, sepi pelanggan. Sampai-sampai, si tukang cukur mesti merayu seorang bocah agar mau dicukur. Berikutnya sebagai gambaran ironi, mereka malah saling mencukur demi eksistensi profesi.Gaya pantomim yang kocak masih diangkat Jemek pada segmen selanjutnya. Jemek menyentil kesombongan yang menjadi budaya masyarakat. Kali ini, dia berlagak seperti pelukis kawakan. Jemek dengan atribut pelukis mengerjakan lukisan seorang penari. Wajah si penari yang jelita sangat padu dengan tubuhnya yang gemulai. Jemek menampilkannya lewat siluet penari di balik kain putih.Sang pelukis sangat mengagumi karyanya. Tubuh penari itu demikian indahnya sehingga ia memandangi terus ke arah kanvas. Ia larut dalam kekagumannya, sehingga terlelap dan terbuai mimpi.Dalam halusinasinya sang penari melompat dari kanvas dan menari mengelilinginya. Perempuan jelita berkemben merah dan berambut hitam menari dengan lemah gemulai. Sang penari mengelilingi dan mendekati sang pelukis yang tertidur, kemudian mengelus rambutnya. Bau ha-rum tubuh sang penari membangkitkan pelukis dari lelapnya. Dengan wajah tak percaya tatapannya tak bisa menghindar dari gemulainya gadis molek itu. Ia terhanyut kala sang penari mencium pipinya. Sang pelukis tak kuasa menahan diri dan ia melompat dari kursinya. Dia mengejar sang penari dan merengkuhnya. Sang pelukis terbangun, karena menabrak kanvas lukisan.Jemek dan kawan-kawannya dari Yogyakarta, tidak hanya menampilkan keseriusan dalam pertunjukannya. Kelucuan-kelucuan mengalir dari gerakan-gerakan konyol yang menyentil. Gelak tawa para penonton tidak henti-hentinya saat adegan mandi.CerobohBetapa cerobohnya seorang dokter yang mengoperasi pasiennya di ruang bedah. Sang dokter sampai meninggalkan telepon genggam di dalam perut si pasien.Nama Jemek dan pertunjukannya yang menghibur dengan sentilan yang cerdik, menahan penonton untuk tetap bergeming, walaupun harus bersusah-susah menembus hujan deras yang mengguyur saat itu.Jemek yang pada 4 April 2003 sudah menjalani hidup selama setengah abad memang lebur dalam dunia seni tanpa kata-kata. Pantomim sudah mengalir dalam urat nadi seniman asal Yogyakarta ini. Walaupun seni pantomim tidak mendapat tempat sejajar dengan seni pertunjukan lainnya, Jemek tetap konsisten menjalaninya.Dalam perjalanan hidupnya yang penuh kontroversi, kegelisahan selalu mengganggu pikirannya. Namun ia tidak lancar menjalin kata-kata yang indah, sehingga kegelisahannya ia ramu dalam berbagai karya yang ditampilkan sebagai refeleksi setengah abad usianya.Jemek memang penuh kontroversi, bahkan kegilaan menurut ukuran orang biasa. Ia tidak hanya berpantomim di atas panggung, lahan kuburan pun menjadi pentasnya dalam berkesenian. Berbagai cara dilakukannya untuk menaikkan pamor pantomim. Mengkritik Soeharto dengan bahasa tubuh pun ia lakukan dalam waktu sepuluh jam perjalanan kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta. (A-20)